kode

Sabtu, 11 Juni 2011

REFORMASI BIROKRASI


Abstrak
Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia
mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi
dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan
memperluas kekuasaan monolitik.
Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah.
Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi
penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi, terjadi diskriminasi dan
penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.
Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses pembusukan politik, termasuk buruknya
kinerja birokrasi. Tujuan tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi model reformasi birokrasi di Indonesia pasca
Orde Baru.
A. Pengantar
·  Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat
para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk
terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999,
meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.
·  Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari
kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0
atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi
expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak
pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk
memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.1
·  Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di
kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka
juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk
melakukan reformasi.
·  Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan
Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di
bawah rata-rata, yakni masinng-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7.
Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara
dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi
dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik
hingga sepuluh yang terburuk.
B. Permasalahan
·  Sampai akhir kekuasaan presiden Soeharto, Indonesia belum memiliki kebijakan publik
yang mengatur pembatasan hubungan partai politik terhadap birokrasi. Akibatnya
birokrasi menjadi infinitas (meluas tidak terbatas) terjadi politisasi birokrasi, yang
menyumbang terjadinya proses pembusukan politik dan melemahnya kinerja birokrasi.
·  Birokrasi diperlukan, tapi terkadang menjadi penghambat dan sumber masalah
berkembangnya demokrasi. Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan
pembusukan politik.
C. Tujuan Penulisan
Merancang model reformasi birokrasi untuk Indonesia pasca Orde Baru.
D. Model Reformasi Birokrasi Indonesia
Berikut model perbandingan antara birokrasi yang menimbulkan pembusukan politik
karena politisasi dan model netralitas politik birokrasi, yang diharapkan sehat untuk Indonesia ke
depan.
Model I Model II
Birokrasi Berpolitik Netralitas Politik Birokrasi
Ciri-ciri: Ciri-ciri:
. Dibentuknya wadah tunggal organisasi . KORPRI dinyatakan independen dari Partai Politik.
yaitu KORPRI. . Birokrasi tidak berafiliasi Politik, berjarak dg. Partai Politik.
. Bureaucratic Polity/Korporatisme Negara. . Bersikap Non Diskriminatif terhadap WN & partai politik.
. Monoloyalitas Birokrasi/PNS saat Pemilu . Peran LSM dan Kelompok Kepentingan lebih leluasa.
Terhadap Partai Politik Pemerintah. . Masyarakat berpartisipasi secara otonom membangun
. Masyarakat termobilisasi & terkooptasi, demokrasi sakit. Civil Society (ada demokrasi, HAM dan keadilan sosial).
Jalur pengaruh kekuasaan kooptasi politik.
Jalur persuasi dan koordinasi sosial.
Keterangan: Bagan ini disusun oleh Syafuan Rozi, 2000.
Apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang sering dibahas
dalam studi ilmu politik. Untuk kasus Orde Baru, pada praktiknya birokrasi terlibat dalam
kepengurusan dan pemenangan partai politik pemerintah.
·  Kalangan aktor politik, para ilmuwan politik dan cendikiawan pun ada yang berbeda
pandangan, ada yang menyatakan setuju (pro) dan ada yang menyatakan menolak
(kontra) terhadap peran pegawai pemerintah dalam kehidupan politik.
·  Mereka yang setuju birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan diri pada asumsi
dasar bahwa semua orang mempunyai hak memilih dan hak dipilih, tidak rasional
membatasi peran politik birokrasi. Pembatasan hak merupakan tindakan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM), khususnya soal hak-hak rakyat.
·  Mereka yang kontra berpendapat gejala tumpang tindihnya peran sebagai pelayan
masyarakat dan aktor politik sekaligus, baik dalam tingkatan perorangan maupun institusi
birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan conflict of interest yang pada akhirnya
akan merusak salah satu wadah tersebut, merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak
kehidupan politik, yang menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang.
·  Praktik birokrasi di negara-negara berkembang menunjukkan, pemihakan birokrasi pada
suatu partai politik telah memunculkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, khususnya
dari kalangan birokrasi itu sendiri.2
Ada kecenderungan beberapa aspek negatif yang bisa dikemukakan, untuk dikaji ulang, sebagai
dampak dari keberpihakkan birokrasi dalam politik di Indonesia.
Pertama, terjadi keterpasungan pegawai birokrasi dalam kehidupan politik,
khususnya akibat yang menimpanya jika memilih partai selain Golkar.
Saat itu, jika ada pegawai birorkasi yang memilih atau menjadi pengurus partai non-
Golkar, harus keluar dari jajaran birokrasi.
Kedua, keberpihakan birokrasi pada Golkar telah membawa ketakutan terhadap
sebagian anggotanya, khususnya saat kampanye.
Pegawai birokrasi tak lagi berani mengenakan seragam KORPRI dan PSH (Pakaian
Seragam Harian) saat kampanye berlangsung, karena hanya akan menjadi sasaran ketidakpuasan
simpatisan partai non-Golkar atas praktik keberpihakan birokrasi itu. Kenyataan seperti itu hampir
terjadi di semua daerah.
Ketiga, keberpihakkan birorkasi pada Golkar lebih mengakibatkan ancaman-ancaman
struktural ketimbang fungsional.
Contohnya, seorang pegawai tak akan pernah naik pangkat secara lancar jika disinyalir tidak
memilih Golkar. Akibatnya, karier organisatorisnya lebih didasarkan pada kepentingan politik (Golkar)
ketimbang profesionalisme kerja.
Keempat, kecenderungan pelayanan birokrasi yang diskriminatif, baik dalam aspek
administratif maupun pembangunan.
Sudah bisa ditebak saat itu, jika suatu daerah tidak bisa memenangkan Golkar, jangan
berharap daerah tersebut mampu dan diperioritaskan untuk dibangun sarana dan prasana fisiknya
dengan lancar. Bahkan permohonan pembangunan fisik seperti pengaspalan jalan, pembuatan
jembatan dan penyediaan fasilitas listrik, tidak akan tercapai jika Golkar kalah di tempat itu. Dalam
pengurusan surat-surat administratif, berlaku hal yang sama. Jika mereka Golkar, maka akan
dengan lancar mengurusnya, tetapi jika bukan, jangan terlalu berharap atau perlu menambahkan
“uang pelicin”. Kondisi ini nyata dalam pengurusan persoalan perizinan, pembuatan akte dan KTP
(Kartu Tanda Penduduk).
Kelima, keberpihakkan birorkasi pada salah satu partai politik memperlemah
profesionalisme organisasi pemerintahan.
Charles E. Lindblom mengingatkan, keasyikan birokrasi bermain dalam politik, pada suatu
titik tertentu akan menghasilkan birokrasi yang korup, tidak efisien dan amoral.3
Pada tahun 1992, ada koreksi terhadap paradigma birokrasi modern Weber yang hirarkis,
disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi, kerja tim dan kontrol
rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Hal itu disarankan oleh David
Osborne dan Ted Gaebler. Juga disarankan paradigma birokrasi yang baru antara lain:
(a) Catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir
daripada mendayung. Pemerintah dan birokrasinya disarankan untuk melepaskan bidang-bidang
atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri.
(b) Community-owned government: empowering rather than serving. Pemerintah adalah milik
masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih oleh wakil
masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih utama jika
memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri,
daripada menjadikan masyarakat tergantung terhadap pemerintah.
(c) Competitive government: injecting competition into service delivery. Pemerintahan yang kompetitif
adalah pemerintahan yang memasukan semangat kompetisi di dalam birokrasinya. Pemerintah perlu
menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan
penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik.
Dalam menyusun arah reformasi birokrasi Indonesia, perlu memperhitungkan terjadinya
perubahan lingkungan kerja dan kecenderungan dinamika sosial ekonomi masyarakat universal,
Dalam praktiknya di negara dunia ketiga yang memiliki sifat patron-client yang kental, ciri
hirarkis birokrasi Weber, dianggap berdampak telah mematikan inisiatif masyarakat dan
kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien.
Contoh birokrasi yang terlalu hirarkis, terlihat ketika ada kebiasaan kerja bahwa setiap hal
atau pekerjaan harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan. Akibatnya
kreatifitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi menjadi berkurang. Kualitas pelayanan birokrasi
dinilai buruk, lama, berbelit-belit. Hal itu berbeda sekali dengan swasta yang memberikan pelayanan
interaktif, kompetitif dan cepat. Jika tidak begitu, swasta khawatir akan ditinggalkan oleh
pelanggannya.
·  Dalam model pemerintahan enterprenur, pemerintah dan birokrasi hanya mengarahkan,
bukan mengurus semua bidang, melakukan pemberdayaan masyarakat, saling bersaing
dalam memberikan pelayanan yang terbaik, digerakkan oleh misi yang ditetapkan oleh
negara bukan aturan yang dibuat sendiri, menghasilkan pendanaan bukan menunggu
anggaran, dikendalikan oleh warga negara pembayar pajak, memperhitungkan tabungan,
mencegah daripada mengobati, melaukan kerja keompok bukan kerja individu dan
memperhatikan kemauan pasar atau publik.
·  Sebelum adanya kebijakan zero growth, berkecendrungan jumlah personilnya dibuat
membesar untuk menampung pencari kerja dan para kader politiknya. Keadaan itu
menunjukkan gejala over-bureaucratic, jumlah personal tidak sebanding dengan beban kerja
birokrasi yang sebenarnya. Birokrasi yang membesar ini jika tidak dibatasi peran dan
fungsinya maka dengan sendirinya akan “mengurusi” dan memaksa masuk semua bidang
kemasyarakatan menjadi urusannya, yang semestinya bisa dilakukan oleh masyarakat
sendiri.7
·  Padahal urusan masyarakat dan pasar tersebut akan lebih cepat, efisien dan bisa berjalan
dengan sendirinya tanpa memerlukan campur tangan berlebihan dari birokrasi. Berikut ini
paradigma baru atau model yang ditawarkan untuk birokrasi Indonesia masa depan.
Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis.
Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan mengunakan
hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara
budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis
untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas membaca keadaan
kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip
kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama
pentingnya.
·  Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi Indonesia ke
depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan memerdekakan
masyarakat untuk berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi kadar pengawasan dan
represi terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan cara-cara penguasaan
masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap dominasi.
·  Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat
(public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi
pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat
dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility) lewat dengar pendapat
(hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang. Melakukan
pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi.
·  Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas
dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat
dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian.
·  Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and
proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme.
Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan
gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif,
diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan).
·  Birokrasi yang bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas
negara untuk kepentingan partai politik tertentu.
E. Penutup
Ada sejumlah gagasan kode etik yang akan menuntun perilaku birokrat untuk menjalankan
prinsip netralitas politik birokrasi guna menegakan birokrasi. Hal ini akan menciptakan birokrasi
yang lebih bersih. Ada beberapa tabu yang harus dihindari oleh setiap pegawai birokrasi, sebagai
langkah membangun peradaban politik Indonesia, antara lain: 8
·  Birokrasi/PNS "tidak boleh" menggunakan program dan anggaran pembangunan dari
APBN/APBD atau sumber milik negara yang lain untuk kepentingan salah satu partai
politik pada saat apapun, apalagi saat kampanye.


TUGAS FINAL

Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun 1998, kondisi birokrasi di Indonesia
mengalami sakit bureaumania seperti kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi
dan nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi masyarakat guna mempertahankan dan
memperluas kekuasaan monolitik.
Birokrasi Orde Baru dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik pemerintah.
Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi
penghambat dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi, terjadi diskriminasi dan
penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.
Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap proses pembusukan politik, termasuk buruknya
kinerja birokrasi. Tujuan tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi model reformasi birokrasi di Indonesia pasca
Orde Baru
Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat
para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk
terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999,
meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India.
·  Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari
kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0
atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi
expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak
pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk
memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.1
·  Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di
kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka
juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk
melakukan reformasi.
·  Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan
Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di
bawah rata-rata, yakni masinng-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7.
Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara
dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi
dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik
hingga sepuluh yang terburuk.